HISTORIS.id – Menjelang malam Hari Raya Idulfitri, takbiran menjadi sebuah tradisi yang sangat kental terasa. Takbiran sendirri merupakan bentuk ekspresi kegembiraan dan rasa syukur atas berakhirnya bulan suci Ramadan.
Biasanya, pada saat malam Takbir sejumlah orang mengadakan pawai di jalanan, kadang-kadang disertai dengan membawa beduk, obor, dan lampion sebagai bagian dari perayaan. Pada saat waktunya tiba, para peserta takbiran berjalan beriringan untuk berkeliling kampung, dimulai dari suatu masjid dan berakhir di masjid yang sama.
Namun, ada juga takbiran yang dilakukan tanpa berkeliling dan hanya di dalam satu masjid saja. Sambil berjalan, mereka juga mengucapkan kalimat takbir “Allahu Akbar” secara bersama-sama.
Kalimat tersebut merupakan gabungan dialog antara Malaikat Jibril, Nabi Ismail, dan Nabi Ibrahim berturut-turut yang secara utuh berbunyi, “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar. Laa ilaaha Illahu Wallahu Akbar. Allahu Akbar Walillahilhamd.”
Sejarah takbiran bermula dari pertemuan Nabi Ibrahim dengan Siti Hajar, istri keduanya. Dalam pernikahan Siti Hajar, Nabi Ibrahim sangat menginginkan seorang keturunan. Bahkan, Nabi Ibrahim bernazar apabila ia dikaruniai seorang anak, ia rela memberikannya kepada Allah SWT.
Namun, sebelum itu, Nabi Ibrahim sebenarnya sudah memiliki istri lebih dulu yang bernama Siti Sarah.
Dikisahkan pada suatu hari Nabi Ibrahim dan Siti Sarah berpindah tempat dari Babilonia berjalan hingga ke Palestina. Sesaat sebelum sampai di sana, di tengah perjalanan ada seorang raja yang konon sering merebut perempuan-perempuan yang lewat. Mengetahui hal itu, Nabi Ibrahim pun meminta Siti Sarah untuk mengaku sebagai adiknya.
Kendati demikian, ternyata strategi itu tidak membuat Siti Sarah aman dari tangkapan bala tentara raja. Siti Sarah dibawa secara paksa ke depan sang raja. Setelah itu, Sarah berdoa agar diberi keselamatan dari gangguan orang-orang kafir. Allah pun mendengar doa Sarah, sehingga ia dibebaskan oleh sang raja. Bahkan sang raja memberikan hadiah kepada Nabi Ibrahim seorang istri yang bernama Siti Hajar.
Nabi Ibrahim bersama kedua istrinya pun melanjutkan perjalanan ke Palestina. Sesampainya di Palestina, istri dari Nabi Ibrahim yang lebih dulu dikaruniai keturunan adalah Siti Hajar.
Nabi Ibrahim dikaruniai seorang putra yang ia beri nama Ismail. Adapun nazar yang diucapkan Nabi Ibrahim tertulis dalam WQ Ash-Shaffat ayat 37, berbunyi: “Ya Tuhanku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang saleh”.
Ketika usia kandungan Siti Hajar sudah besar, Nabi Ibrahim membawanya ke Mekkah. Siti Hajar kemudian melahirkan putranya di sana. Seiring berjalannya waktu, ketika Ismail berusia tujuh tahun, ada juga ulama yang menyebutkan bahwa ketika usia sang anak sudah 13 tahun, Allah SWT menagih nazar Nabi Ibrahim.
Nabi Ibrahim pun memenuhi janjinya kepada Allah dengan menyerahkan putra semata wayangnya. Sebab, Malaikat Jibril berkata kepada Nabi Ibrahim bahwa doanya akan dikabulkan oleh Allah SWT berkat kesabarannya. Nabi Ibrahim kemudian berdoa agar Allah SWT tidak menyiksa satu pun umat Nabi Muhammad SAW.
Lalu, setelah mendengar doa Nabi Ibrahim, Malaikat Jibril berkata: “Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar”. Lalu, Nabi Ismail berucap “Laa ilaaha Illahu Wallahu Akbar”. Kemudian Nabi Ibrahim menimpali, “Allahu Akbar Walillahilhamd”.
Kemudian, dilansir dari berbagai sumber, perayaan Idulfitri pertama kali pada zaman Nabi Muhammad. Saat itu, Rasulullah merayakan Hari Raya pertamanya dengan kondisi letih setelah perang Badar, di mana umat Islam meraih kemenangan.
Dalam pertempuran itu, sebanyak 319 orang pasukan Muslim harus berhadapan dengan 1.000 musuh. Momen Idulfitri pertama itu sekaligus menjadi perayaan perjuangan para sahabat untuk meraih kemenangan.
Dengan kata lain, Idulfitri tidak hanya sebagai bentuk kemenangan umat Islam dalam menahan nafsu dan berpuasa selama sebulan penuh, melainkan juga simbol kemenangan dalam perang Badar.
Sementara itu, laman NU Online menjelaskan bahwa sejarah Idulfitri juga tidak lepas dari peristiwa hari raya kaum Arab di masa jahiliyah. Pada masa itu, masyarakat Arab memiliki dua hari raya yang tidak lepas dari tradisi orang jahiliyah, yaitu Nairuz dan Marjaan.
Sebagai gantinya, Nabi Muhammad menggantinya dengan dua perayaan yang lebih baik yaitu Idulfitri dan Iduladha.
Ketika Nabi Muhammad datang ke Madinah, Rasulullah bersabda: “Kalian memiliki dua hari yang biasa digunakan bermain, sesungguhnya Allah telah mengganti dua hari itu dengan hari yang lebih baik, yaitu Idulfitri dan Iduladha.”
Dengan demikian, takbir menjadi simbol kebersamaan umat Islam dalam ungkapan syukur atas kemenangan setelah menjalani bulan suci Ramadan.