HISTORIS.id – Setiap pengetahuan yang berkembang dalam sebuah kebudayaan, sepatutnya memiliki pemahaman tentang nilai-nilai dasar yang menjadi pandangan hidup serta pegangan yang di mana para pengikutnya turut menganutnya.
Melalui nilai dasar tersebut membuat para pengikutnya melihat diri mereka ke dalam, dan mengatur bagaimana caranya mereka melihat ke luar. Nilai dasar itu merupakan falsafah hidup yang mengantar anggotanya ke mana ia harus pergi (Liliweri, 2009).
Secara fundamental falsafah hidup dipahami sebagai nilai-nilai sosio-kultural yang dijadikan masyarakat tertentu sebagai pola dalam melakukan aktivitas keseharian. Demikian penting dan berharganya nilai normatif ini, sehingga tidak jarang ia selalu melekat kental pada setiap pendukungnya meski arus modernitas senantiasa menerpa dan menderanya. Bahkan dalam implementasinya menjadi spirit untuk menentukan pola pikir dalam tindakan manusia.
Pada abad ke – 16 masa pemerintahan Raja Bone ke 6 La Uliyo Bote’E (1543 – 1568) dan Raja Bone ke 7 Tenri Rawe BongkangE (1568 – 1584), terdapat sosok yang tampil bak seorang bintang di tengah Kerajaan Bone. Melalui penelusuran berbagai sumber lisan berupa cerita rakyat dan sejarah baik dari Lontara maupun tulisan–tulisan lainnya, menunjukkan bahwa dasar pokok pikiran tentang hukum dan ketatanegaraan telah lama diterapkan di tengah masyarakat Bugis oleh sosok yang dikenal sebagai La mellong.
Saya tertarik pada Pemikiran seorang La Mellong To Suwalle Kajaolaliddong Tau Tongennge ri Gaukna, (La Mellong Sang Cerdik-Cendekia Kajaolaliddong Manusia yang Sungguh-Sungguh Benar Perbuatannya; kira-kira 1507-1586) mengenai berbagai aspek di dalam kehidupan, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar kenegaraan (kerajaan), hukum dan/atau budaya politik.
Pemikiran dasar Kajaolaliddo, terutama yang berkaitan dengan nilai-nilai dasar budaya politik dan norma-norma pengaturan negara, antara lain dapat ditemukan di dalam “pappaseng” (wasiat, pesan) Kajaolaliddong, terutama di dalam dialognya dengan Arumpone (Raja Bone).
Pada bagian awal dialog itu, Kajaolaliddong menanyakan pendapat Arumpone mengenai dasar-dasar pemeliharaan kemuliaan raja/kerajaan, penjagaan agar rakyat tidak tercerai-berai, serta pencegahan penghamburan kekayaan negara Kajao Laliddong juga dikenal sebagai peletak dasar konstitusi atau yang biasa dikenal dengan istilah “Pangadereng” dalam Bugis dan “Pangadakkang” dalam istilah Makassar.
Ajaran-ajaran beliau bukan saja diterima dan diakui di kerajaan Bone, melainkan juga di luar kerajaan Bone. Terutama setelah Bone melebarkan sayapnya. Bahkan banyak yang menjadikan konstitusi itu sebagai falsafah kerajaan lain termasuk kerajaan Bugis yang ada di lingkup Sulawesi Selatan.
Sejalan dengan pemikiran Bronislaw Molinowski yang menyatakan asas fungsi (teori fungsionalisme) bahwa pada dasarnya kebutuhan manusia sama, baik itu kebutuhan yang bersifat biologis maupun bersifat psikologis dan kebudayaan pada dasarnya memenuhi kebutuhan tersebut.
3 Konsep pangadereng lahir atas dasar kebutuhan masyarakat ketika itu untuk menjalankan roda pemerintahan dengan baik dan bijaksana maka dibutuhkan hukum-hukum yang dapat menjaga kedamaian suatu kerajaan. Konsep norma sosial ini ada empat yang dipaparkan oleh beliau, yakni ade’ (kebiasaan), bicara (peradilan), rappang (undang-undang atau perumpamaan)
Setelah agama Islam resmi menjadi agama kerajaan Bone pada abad XVII, maka keempat komponen pangadereng (ade’, bicara, rapang, dan wari) ditambah lagi satu komponen, yakni sara (Syariat Islam). Dengan demikian ajaran Kajao Laliddong tentang hukum yang mengatur kehidupan masyarakat, baik secara individu maupun komunitas dalam wilayah kerajaan, dengan ditambahkannya komponen sara’ di atas menjadi semakin lengkap dan sempurna.
Ajaran Kajao Laliddong ini selanjutnya menjadi pegangan bagi kerajaan-kerajaan Bugis yang ada di Sulawesi Selatan
Dapat dikatakan, bahwa lewat konsep “Pangngadereng” ini menumbuhkan suatu wahana kebudayaan yang tak ternilai bukan hanya bagi masyarakat Bugis di berbagai pelosok nusantara. Bahkan ajaran Kajao Lalliddong ini telah memberi warna tersendiri peta budaya masyarakat Bugis, sekaligus membedakannya dengan suku-suku lain yang mendiami nusantara ini.
Pengamalan secara aplikasi implementatif pangadereng sebagai falsafah hidup orang Bugis, memiliki 4 (empat) asas sekaligus pilar yakni:
(1) Asas Mappasilasae, yakni memanifestasikan ade’ bagi keserasian hidup dalam bersikap dan bertingkah laku memperlakukan dirinya dalam pangadereng;
(2) Asas Mappasisaue, yakni diwujudkan sebagai manifestasi ade’ untuk menimpahkan deraan pada tiap pelanggaran ade’ yang dinyatakan dalam bicara. Azas ini menyatakan pedoman legalitas dan represi yang dijalankan dengan konsekuen
(3) Asas Mappasenrupae, yakni mengamalkan ade’ bagi kontinuitas pola-pola terdahulu yang dinyatakan dalam rapang;
(4) Asas Mappallaiseng, yakni manifestasi ade’ dalam memilih dengan jelas batas hubungan antara manusia dengan institusi-institusi sosial, agar terhindar dari masalah (chaos) dan instabilitas lainnya.
Hal ini dinyatakan dalam wari untuk setiap variasi perilakunya manusia Bugis. Semasa hidupnya Kajao Lalliddong senantiasa berpesan kepada siapa saja, agar bertingkah laku sebagai manusia yang memiliki sifat dan hati yang baik. Karena menurutnya, dari sifat danhati yang baik, akan melahirkan kejujuran, kecerdasan, dan keberanian.
Diingatkan pula, bahwa di samping kejujuran, kecerdasan, dan keberanian maka untuk mencapai kesempurnaan dalam sifat manusia harus senantiasa bersandar kepada kekuasaan “Dewata SeuwwaE” (Tuhan Yang Maha Esa). Dan dengan ajarannya ini membuat namanya semakin populer, bukan hanya dikenal sebagai cendekiawan, negarawan, dan diplomat ulung, tetapi juga dikenal sebagai pujangga dan budayawan.
La Mellong kecil hingga menginjak masa remaja pada masa pemerintahan raja Bone ke V La Tenri Sukki Mappajungnge (1510-1535) disebuah kampung kecil yang bernama Laliddong dalam wanua Cina. Dalam berbagai catatan lontara disebutkan bahwa La Mellong adalah manusia panutan yang memiliki sifat jujur, cerdas dan berani. Tidak pernah berbohong, tegas dalam tindakan namun rendah hati. Sikapnya yang demikian mulai tammpak sejak masa kanak-kanak, sehingga teman-teman sebayanya menganggap La Mellong sebagai teman yang asyik diajak bermain.
Pada Masa pemerintahan Raja Bone V La Tenri Sukki, La Mellong sudah berada di istana kerajaan Bone namun hanya sebagai warga biasa yang dipanggil untuk tinggal di dalam lingkungan istana, belum ada status penasehat. Disinilah ia banyak belajar, mengamati dan memperhatikan kondisi sosial politik masa itu. La Tenri Sukki pada waktu itu sebagai pewaris tahta dari ibunya, We Banrigau Makkaleppie.
La Tenri Sukki merupakan raja Bone pertama yang disebutkan dalam lontara memiliki hubungan kerjasama dengan kerajaan besar lainnya di Sulawesi Selatan. Raja Bone ini memerintah Pada akhir abad XV hingga permulaan abad XIV. Dimasa pemerintahannya, berhasil memukul mundur pasukan kerajaan Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (perang Cellu), karena pasukan dari kerajaan Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang pusat kerajaan Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh kerajaan Bone.
Walaupun dikemukakan lebih lima abad yang lalu, ternyata masih tetap menarik untuk dikaji dan dipikirkan. Nilai-nilai apa yang diterapkan di dalam pengaturan pemerintahan, bagaimana cara menerapkannya, di mana posisi rakyat ditempatkan di dalam kehidupan bernegara dan bagaimana perhatian terhadap kesejahteraannya. Dengan melakukan upaya interpretasi atau penafsiran. Naskah Lontarak juga sudah menganjurkan sistem demokrasi yang berkedaulatan rakyat sebagai model ideal dari sistem pemerintahan suatu kerajaan di daerah Bugis.
Ia mencoba menanamkan nilai-nilai atau sifat-sifat yang harus dimiliki oleh raja dan rakyat, yaitu: Lempu’ (kejujuran), Acca (kepandaian), Asitinajang (kepatutan), Getteng (keteguhan), Reso (usaha,kerja keras), Siri’ (harga diri). Pada suatu hari, sebagaimana dikisahkan dalam Lontara, raja Bone pernah bertanya kepada Kajao Laliddong: “aga tanranna namaraja tanaé” (apa tandanya apabila negara itu menanjak kejayaannya)?” Kajao pun menjawab: dua tanranna namaraja tanaé Arungponé, seuwani malempu namacca Arung Mangkaué, maduanna tessisala-salaé.” (Dua tanda negara menjadi jaya, pertama, raja yang memerintah memiliki sifat jujur lagi pintar, dan kedua, tidak bercerai-berai/bersatu).
Kejujuran dan kebijaksanaan menjadi kunci kepemimpinan yang ditekankan oleh Kajao Laliddong. Ia punya kemiripan dengan filsuf besar Yunani, Plato, yang senantiasa menekankan kebaikan dan kebijaksanaan dalam inti filsafatnya. Padahal, hampir bisa dipastikan, Kajao Laliddong tidak pernah bertemu dengan Plato.
Ini menarik, setidaknya untuk membuktikan bahwa peradaban di timur sudah sangat maju jauh sebelum kedatangan kolonialisme. Alih-alih para kolonialis datang untuk membuat bangsa timur menjadi beradab, justru menghentikan perkembangan maju tersebut dan malah mempertontonkan kekejian kepada dunia yang indah di timur daratan indonesia.
Oleh: Andi Tanra Aqib S.Hum (Ketua Komunitas Alliri Budaya)
Referensi Koentjaraningrat. 2005 . Pengantar Antropolgi. Jakarta: Rineka Cipta. Riyadi, Slamet. 2019. “LATOA : Antropologi Politik Orang Bugis Karya Mattulada : Sebuah Tafsir Epistimologis.” Pangadereng 30 – 45. Teng, H Muhammad Bahar Akkase. 2017. “Kajaolaliddong, Cendikiawan Bugis Bone : Dalam Perspektif Sejarah.” Repository.Unhas.