“Seorang perempuan belum lengkap jika belum bisa menenun dan mengajarkannya kepada perempuan lain.”
HISTORIS.id – Pepatah lama dari tanah Bugis itu tidak hanya hidup sebagai kutipan, tetapi nyata dalam kehidupan para perempuan di Pagatan, sebuah kawasan di Kabupaten Tanah Bumbu, Kalimantan Selatan. Meski ribuan kilometer dari kampung halaman leluhur mereka di Sulawesi Selatan, para perempuan Bugis di sini masih memegang erat kearifan tradisional itu—menenun bukan sekadar keahlian, melainkan identitas.
Warisan di Atas Alat Tenun Kayu
Di Desa Manurung, perempuan-perempuan Bugis tampak telaten menggerakkan alat tenun tradisional yang disebut gedog, terbuat dari kayu dan sepenuhnya digerakkan oleh tangan. Di tengah derasnya arus modernisasi, mereka tetap setia pada alat ini, meskipun alat tenun bukan mesin (ATBM) menawarkan kecepatan dan efisiensi.
Menggunakan gedog, dibutuhkan waktu sekitar 20 hari untuk menyelesaikan selembar kain tenun berukuran 65 cm x 4 meter, dengan maksimal dua warna. Sebaliknya, dengan ATBM, penenun hanya memerlukan 1–2 hari untuk menyelesaikan kain berukuran 1 x 2 meter. Meski begitu, banyak penenun memilih mempertahankan teknik tradisional yang diwariskan oleh nini (nenek) dan kai (kakek) mereka sejak kecil.
Proses yang Sarat Filosofi
Menenun bukanlah proses tunggal. Ini adalah kerja kolektif yang melibatkan banyak tangan dan peran. Ada yang bertugas merancang pola, mengikat benang, mencelupkan warna, hingga memasukkan benang ke dalam alat tenun yang disebut sisir. Hanya setelah semua proses itu rampung, benang diserahkan kepada penenun untuk dirangkai menjadi selembar kain indah.
Motif yang dihasilkan pun beragam—dari motif klasik seperti ombak, hingga motif modern yang menyesuaikan permintaan pelanggan dan tren fesyen. Bahan yang digunakan juga bervariasi, dari katun hingga sutra. Harga kain tenun Pagatan bervariasi, mulai dari Rp200 ribu hingga Rp800 ribu, tergantung bahan dan tingkat kerumitan motif. Kain dari alat gedog cenderung lebih mahal karena waktu dan tenaga yang dibutuhkan jauh lebih besar.
Namun, keterbatasan produksi menjadi tantangan tersendiri. Penenun yang masih menggunakan gedog tidak mampu memenuhi pesanan dalam jumlah besar, terutama dari pasar fesyen yang menuntut kecepatan.
Jejak Bugis di Tanah Bumbu
Keberadaan tenun Pagatan tak lepas dari sejarah migrasi orang Bugis ke Kalimantan Selatan. Pada tahun 1735, sekelompok pelaut dan pedagang Bugis Wajo yang dipimpin Puanna Dekke berlayar dari Sulawesi Selatan untuk mencari kehidupan baru. Setelah membuktikan kemampuannya menjaga keamanan laut dari bajak laut, mereka diizinkan oleh Sultan Banjar untuk menetap dan mendirikan kerajaan kecil di kawasan yang kemudian dikenal sebagai Pagatan—dari kata “pemagatan” atau “memotong rotan”.
Meski telah berabad-abad menetap, masyarakat Bugis di Pagatan tetap mempertahankan adat dan budayanya. Bahasa, pakaian adat, hingga ritual seperti Mappanretasi—sebuah pesta laut sebagai bentuk syukur kepada Tuhan—masih hidup hingga kini. Dalam setiap perpindahan, para perempuan Bugis selalu membawa alat tenun sebagai bagian tak terpisahkan dari kehidupan mereka. Pada masa lalu, mereka menenun untuk membuat sarung sebagai bagian dari pakaian adat Bugis.
Dari Sarung Tradisional ke Dunia Fesyen
Kini, Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu mendorong para penenun untuk mengembangkan tenun Pagatan agar tidak sekadar menjadi sarung, melainkan kain yang bisa digunakan untuk berbagai model busana. Sebagai bentuk dukungan, pegawai negeri sipil diwajibkan mengenakan pakaian berbahan tenun Pagatan setiap hari Kamis.
Langkah-langkah tersebut juga dimaksudkan untuk memperkenalkan tenun Pagatan ke generasi muda, mendorong regenerasi penenun, dan meningkatkan nilai ekonomi warisan budaya ini. Tenun Pagatan bahkan telah diakui sebagai Warisan Budaya Tak Benda oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.
Puncak perhatian nasional terhadap tenun ini terjadi pada 2017, ketika Presiden Joko Widodo mengenakannya saat menghadiri upacara Mappanretasi di Pagatan. Ia kembali mengenakan kain tersebut dalam upacara peringatan Hari Kemerdekaan Indonesia di Jakarta di tahun yang sama. Sejak saat itu, pamor tenun Pagatan kembali mencuat.
Harapan di Ujung Benang
Namun demikian, keberlangsungan tenun Pagatan masih menghadapi tantangan besar: menjaga konsistensi kualitas dan meningkatkan kapasitas produksi. Meski lebih dari 75 persen penduduk Tanah Bumbu mengenal kain tenun ini, regenerasi penenun dan adaptasi terhadap pasar fesyen modern tetap menjadi pekerjaan rumah.
Kain tenun ini bukan hanya sekadar selembar kain bermotif indah. Ia adalah kisah tentang pelayaran, migrasi, ketangguhan perempuan, dan upaya mempertahankan identitas dalam perubahan zaman. Di balik setiap helai benang, tersimpan cerita tentang budaya yang dijaga agar tak lekang oleh waktu. (*)