HISTORIS.id – Kabupaten Pati kembali menjadi panggung perlawanan rakyat terhadap kebijakan pajak. Tahun 2025 ini, gelombang demonstrasi besar-besaran merebak setelah Bupati Sudewo menaikkan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga ± 250%. Kenaikan yang dinilai sebagai yang tertinggi sepanjang sejarah Pati itu memicu amarah warga.
Aksi protes dilakukan di berbagai kecamatan, hingga memusat di depan kantor bupati. Warga membawa spanduk bertuliskan “Pajak Mencekik Rakyat” dan “Belanda Saja Tak Segila Ini”. Sejumlah tokoh masyarakat menilai, kebijakan ini bukan hanya memberatkan, tetapi juga melampaui batas kewajaran.
“Dulu penjajah yang kejam pun tidak menaikkan pajak setinggi ini. Kami hanya minta keadilan,” teriak salah satu orator, disambut sorakan massa.
Namun, bagi masyarakat Pati, perlawanan seperti ini bukan hal baru. Kabupaten yang terkenal sebagai “Bumi Mina Tani” ini menyimpan sejarah panjang perlawanan rakyat terhadap pungutan pajak yang dianggap menindas—sebuah tradisi perlawanan yang diwariskan lintas generasi.
Sejarah Panjang Perlawanan Pajak di Pati
1. Abad ke-19: Perlawanan Pajak Tanah Kolonial
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, rakyat Pati dikenakan landrente atau pajak tanah yang tinggi. Sistem ini memaksa petani membayar pajak dalam bentuk hasil bumi, seperti padi atau tebu. Catatan arsip menyebutkan, beberapa desa di Pati melakukan mogok bayar pajak pada 1850-an, memicu pengiriman pasukan kolonial untuk menekan warga.
2. Awal Abad ke-20: Pajak Hasil Bumi yang Mencekik
Di era Politik Etis, pemerintah kolonial masih memberlakukan pungutan hasil bumi bagi petani Pati. Pajak itu tak jarang membuat rakyat jatuh miskin. Beberapa tokoh pergerakan lokal mulai mengorganisasi warga untuk menolak, meski sebagian harus berakhir di penjara.
3. Tahun 1940-an: Masa Pendudukan Jepang
Jepang memang tidak memberlakukan pajak tanah seperti Belanda, tetapi memaksa rakyat menyetor hasil panen untuk kepentingan perang. Meski berbeda nama, bagi rakyat Pati ini tetap dianggap sebagai pajak “tak langsung” yang mencekik.
4. Era Orde Baru: PBB yang Diprotes Diam-Diam
Tahun 1980-an, pemerintah pusat memberlakukan PBB (Pajak Bumi dan Bangunan). Di Pati, banyak warga yang diam-diam keberatan dengan kenaikan tarif, meski protes terbuka sulit dilakukan karena situasi politik saat itu.
5. 2025: Puncak Kenaikan PBB-P2 250%
Kebijakan Bupati Sudewo menaikkan PBB-P2 hingga ±250% menjadi titik ledak baru. Ini adalah kenaikan tertinggi yang tercatat dalam sejarah Kabupaten Pati. Rakyat menilai, kebijakan tersebut mengulang pola penindasan yang mereka kenal sejak zaman kolonial.
Akar Budaya Perlawanan
Sosiolog lokal menilai, karakter warga Pati yang terkenal keras dan egaliter membuat mereka selalu peka terhadap kebijakan yang dianggap tidak adil. Bagi orang Pati, pajak bukan sekadar kewajiban negara, tapi ukuran bagaimana pemerintah memperlakukan rakyatnya. Begitu rasa keadilannya dilanggar, reaksi mereka akan cepat dan besar.
Aksi yang Terus Berkobar
Hingga berita ini diturunkan, aksi protes belum menunjukkan tanda-tanda surut. Warga berencana menggelar aksi lanjutan pekan depan, bahkan dengan melibatkan lebih banyak desa.
Sejarah pun seolah berulang. Dari zaman Belanda, Jepang, Orde Baru, hingga pemerintahan daerah masa kini—rakyat Pati tetap berdiri tegak menolak penindasan di sektor pajak. (*)